Sabtu, 11 Oktober 2025

KRUNTELAN oleh ANIS ISTIKA RAHAYU


Jika ditanya apa yang paling aku suka dari hujan, maka ceritaku akan mengalir sebanyak rintiknya. Aku menyukai hampir semua tentang hujan. Aku menyukai aromanya, suka suaranya, suka derasnya, dan suka melihat airnya membasahi ujung-ujung bajuku yang akan membuatku kedinginan setengah mati. Satu lagi yang paling aku suka dari hujan adalah caranya membuatku merasakan kerinduan yang luar biasa. Rindu pada sebuah masa. Masa-masa tak jelas dalam hidupku yang selalu saja bisa membuatku jadi baper ... cieeee ...

Begitulah aku menyukai hujan. Aku tak pernah membencinya. Mungkin karena selama hidupku aku belum pernah merasakan keburukan dari hujan. Bahkan saking sukanya, aku lebih suka pulang kerja kehujanan tanpa mantel daripada kepanasan tersengat sinar matahari terik. Satu-satunya hal yang membuatku sedikit jengkel hanyalah ketika jemuran yang sudah kering basah kembali karena percikannya.

Aku juga menyukai mendung yang selalu mengiringinya. Suasana mendung selalu saja terlihat mesra di mataku. Terlebih jika aku sedang menikmatinya dengan secangkir Lemon Tea panas di balkon bersama keluarga. Sungguh kenikmatan yang tiada duanya. Duduk sambil saling tarik berselimut, bercengkerama, mendengarkan celoteh anak-anak yang berebut ingin didengarkan ceritanya. Celoteh anak-anak yang selalu diselingi dengan perdebatan, dan kemudian akan diakhiri dengan tawa yang berderai.

Ketika mendung sudah mulai menjadi rintik, biasanya keriuhan celoteh anak-anak akan mulai berkurang. Si Bungsu biasanya akan mulai ndusel pada kedua abangnya karena kedinginan.

“Bun, Bunda dulu suka main hujan-hujanan apa nggak?” tanya si Bungsu pada suatu ketika.

“Tentu saja Bunda suka.”

“Ceritain lagi dong Bun, masa kecile bunda dulu ... ”

Kemudian kami akan pindah ke tempat tidur, ketika rintik hujan mulai menderas dan udara menjadi semakin dingin. Kami akan kruntelan, tidur berhimpitan di atas satu ranjang biasanya anak-anak akan berebut tempat di sebelahku, berebut untuk menempel padaku. Kami tidur dalam satu selimut besar, saling berpelukan, saling mengaitkan kaki, dan sesekali saling jejeg-jejegan. Mereka akan mendengarkan ceritaku dengan penuh semangat. Selalu bertanya dengan antusias, meskipun terkadang cerita itu sudah pernah kusampaikan alias siaran ulang saja ... wkwkw ...

Melihat anak-anak dalam satu selimut, menatapku dengan penuh perhatian, menanti setiap ucapan yang akan keluar dari bibirku, terkadang bisa membuatku merasa sangat terharu. Mungkin tak lama lagi aku akan menikmati masa seperti ini. Masa anak-anak masih menjadi bocah, masih mau tidur kruntelan seperti ini. Tak akan lama waktu seperti ini.

Sebentar lagi, menginjak masa-masa remaja awal, mereka satu persatu pasti akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan kecil seperti ini. Banyak kudengar cerita kawan-kawan sebaya, yang mulai merasa kehilangan dan kesepian begitu anak-anaknya menginjak masa remaja. Anak-anak akan lebih suka bermain, ngobrol, dan nongkrong bersama teman-temannya.

Duuuh ... rasanya air mata ini selalu ingin jatuh bila kubayangkan nantinya anak-anakku akan seperti itu. Tak bisa kubayangkan, rasa sepi yang akan kunikmati berdua dengan suamiku, bila anak-anakku nanti mulai memiliki dunia baru, dunianya sendiri, dunia remaja mereka.

Seharusnyalah aku berterima kasih pada hujan, yang setidaknya akan meninggalkan ingatan yang manis di benak anak-anakku. Berharap mereka akan mengingat cerita-cerita yang mereka dengar dariku di tengah gemuruh hujan. Mengingat setiap pesanku, ketika mereka kruntelan sambil ku-elus satu persatu kepala mereka dengan penuh cinta. Semoga ...

Aku sendiri tak memiliki memori seperti itu dengan Ayah, Ibu, ataupun adik-adiku. Di masa kecilku, aku tak pernah merasakan kruntelan ketika hujan. Aku hanya mengingat perahu-perahu kertas yang ngambang di atas sungai-sungaian buatanku, setiap hujan turun.

“Bun ... ayo ... lanjuti ceritanya.” Suara anakku yang nomor dua membuyarkan sejenak lamunanku.

Ceritapun dimulai ...

“Dulu, semasa Bunda masih kecil, kalau lagi hujan, Bunda gak pernah kruntelan seperti ini.”

“Trus Bunda ngapain kalau lagi hujan?”

“Pasti Bunda main hujan-hujanan. Iya kan ...”

Ingatanku lalu menerawang ke masa-masa itu. Masa ketika aku masih seorang bocah ingusan yang tak pernah melewatkan hujan tanpa bermain-main di bawah curahan airnya. Masa ketika aku bisa betah duduk berjam-jam di bawah kucuran air yang jatuh dari genting sambil menjalankan perahu-perahu kertas yang kubuat agar bisa ngambang dan bergerak. Membuat semacam sungai-sungaian agar perahu-perahu itu bisa melaju mengikuti airan airnya.

Aku juga suka bermain lempar-lemparan lumpur bersama teman-teman. Lumpur itu kemudian akan menempel di bajuku hingga hujan reda dan aku akan pulang ke rumah disambut dengan kemarahan ibuku karena warna lumpur itu akan lekat di baju dan meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang. Pun begitu, aku tidak pernah kapok untuk mengulanginya, lagi ... dan lagi.

Kisah lain yang tak akan pernah kulupa dari hujan adalah aliran listrik yang sering padam. Saat listrik padam, lampu tidak menyala, gelap, itulah saatnya aku akan menjadi penjaga lilin. Bisa dipastikan, lilin itu tak akan pernah bisa menyala dengan tenang di hadapanku. Aku akan membuatnya menjadi mainan yang cukup mengasyikkan.

Terkadang, di waktu-waktu tertentu, dalam gelap itu aku berselimut seorang diri dalam kamar, menutup rapat ujung kaki hingga ujung kepalaku sambil mendekap radio yang di masa itu merupakan alat elektronik yang masih sangat berguna. Aku akan mendengarkan sandiwara radio yang cukup horor dan bisa membuatku sangat ketakutan, “Misteri Gunung Merapi”. Aku bahkan tak berani mengeluarkan kepalaku sedikitpun dari dalam selimut ketika mendengarkan sandiwara radio itu, saking takutnya. Jadilah aku engap namun tetap bertahan dalam selimut hingga sandiwara radio itu usai, dan akupun berkeringat basah di tengah dinginnya hujan.

Sering juga hujan turun saat aku sedang mengaji di surau, bersama teman-teman. Kami selalu datang jauh lebih awal dari guru mengajinya. Tak pernah ada kata terlambat datang ke surau dalam kamus kami. Sekalipun waktu mengaji akan dimulai setelah salat Ashar, kami selalu berangkat ke surau selepas Duhur, dan bermain dulu sepuasnya sebelum guru kami datang. Kami sangat menikmati waktu bermain selama menanti beliau. Terkadang beliau tidak bisa datang mengajar kami bila tiba-tiba hujan turun dengan deras.

Ketika guru ngaji tidak bisa hadir itulah, aku dan teman-teman kembali akan melakukan berbagai permainan di dalam surau. Main becak-becakan, kuda-kudaan, Mariam-Mariam, komidi putar, dan permainan lainnya yang sangat asyik dan tidak mungkin dikenal lagi oleh anak-anak jaman sekarang.    

Aku dan teman-teman bahkan bisa menginap di surau bila hujan tak kunjung reda hingga malam harinya. Kebetulan semua teman ngajiku adalah perempuan. Kalau dipikir-pikir lagi, dimana teman-teman laki-lakiku belajar mengaji waktu itu. mengapa juga teman ngajiku semuanya perempuan ... entahlah. Kami semua tidur bersama, beralaskan tikar pandan, dan berselimut jarik. Ujung-ujungnya,  kami akan saling bertukar kutu keesokan harinya..

Mesti ... nek nginep ndik langgar ... kulakan tumo ...” Ibuku selalu marah kalau aku tidur di surau bersama teman-teman, karena setelahnya, kepalaku akan dipenuhi dengan kutu. Kutu dari rambut teman-temanku yang bermigrasi ke kepalaku. Selanjutnya hari-hariku akan diisi dengan petan di depan pintu ... ha ... ha ... ha ...

Semua yang kuingat tentang hujan adalah kenangan-kenangan indah. Hampir semua adalah hal yang membahagiakan. Pun begitu, bukan berarti tak ada kenangan yang menyedihkan. Tentu saja ada. Namun, menyedihkan juga bukan berarti aku membencinya. Justru aku sangat mengenangnya.

“Bunda kayaknya seneng-seneng terus kalau hujan ya?” tanya si bungsu ketika itu.

Yo ndak to, Dik ... Bunda juga pernah sedih.”

Teringatlah aku pada suatu masa yang lain, mungkin sekitar kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar. Ketika itu, sore hari, hujan turun dengan sangat derasnya. Bergemuruh disertai petir dan geluduk yang membuat suasana semakin mencekam. Ayahku duduk di kursi dengan gelisah. Sepulang dari kantor tadi, Ayah tak sempat beristirahat. Sebentar-sebentar beliau keluar menengok mendung yang menghitam di langit.

“Bagaimana kalau hujan deras ini, Bu ... aku belum sempat memperbaiki pematang yang hampir jebol kemarin,” ucap ayah pada ibuku. Ibu hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa, malah ikut-ikutan bolak-balik menengok ke luar melihat awan yang semakin tebal dan menghitam.

Benar saja, beberapa menit kemudian hujan turun luar biasa deras. Beberapa bagian atap rumahku sampai bocor karena begitu besarnya curah hujan. Ayah semakin gelisah. Begitu selesai salat Ashar, kulihat ayah sudah berganti kostum, hendak keluar untuk melihat apa yang terjadi di sawah. Ibu sempat melarangnya.

“Sudahlah Yah, biarkan saja. Besuk saja, habis Subuh kita lihat sawahnya.”

Namun, rupanya ayah benar-benar khawatir. Di tengah hujan deras dan petir serta cuaca yang sangat gelap, beliau akhirnya memaksa untuk pergi ke sawah. Entah mengapa, begitu ayah keluar, aku pun segera berlari menyusul, tanpa sempat dicegah oleh ibu. Jadilah aku berlari-lari di belakang ayah, mengikuti langkah tergesanya menuju ke sawah. Berkali-kali aku hampir jatuh tergelincir di pematang sawah yang licin. Untunglah, tubuh ini masih sangat lincah saat itu.

Benar saja, begitu sampai di sawah kami, aku melihat pematangnya jebol. Sebagian sawah kami bahkan sudah longsor menimbun sawah yang tepat berada di bawahnya. Sawah-sawah di tempatku saat itu memang berbertuk terasering. Seharusnya aman, jika hujannya tidak sedahsyat itu.

Dalam derasnya hujan yang tak berkurang sedikitpun, ayahku sekuat tenaga berusaha memperbaiki pematang yang jebol itu agar tidak semakin melebar. Aku hanya berdiri mematung, agak jauh dari ayah, bersedekap menahan dingin. Untunglah saat itu padi baru ditanam, masih berusia dua atau tiga minggu. Tidak terlalu besar kerugian ayah misalpun ada cukup banyak tanaman yang rusak. Seandainya itu adalah padi yang hampir panen dan terkena hujan badai seperti itu, entah apa jadinya.

Akhirnya pematang yang jebol itu bisa ditutup kembali oleh ayah.

“Hebat Ayahku ... ” Itu yang terbersit di pikiranku saat itu. Ayah hebat. Seorang diri melakukan pekerjaan sulit seperti itu. padahal ayahku bukanlah seorang petani tulen. Ayah adalah seorang pegawai Departemen Agama, seorang pekerja kantoran. Bertani hanyalah pekerjaan sambilan bagi ayah, karena saat itu, jam kerja kantor hanyalah sampai lepas Duhur, tidak sampai sore apalagi malam seperti sekarang.

Setelah semua beres, aku kembali mengikuti langkah ayah, pulang menuju ke rumah. Tentu saja tetap dengan sedikit berlari di pematang sawah yang licin, di bawah guyuran hujan yang mulai sedikit berkurang curahnya. Sampai di rumah, seperti biasa, aku harus mendengarkan omelan ibu karena aku kabur ikut ayah ke sawah di tengah hujan seperti itu.

“Wah ... Mbah Kung hebat ya Bun,” ucap ketiga anakku hampir berbarengan.

“Iya dong ... Mbah Kung itu nggak males. Meskipun kerja di kantor, tapi tidak malu untuk mencangkul di sawah.”

“Keren ... keren ... ” kata si Bungsuku sambil memelukku erat.

“Enak ya Bun, kalau hujan gini. Kita bisa kruntelan kayak gini. Enak ... angeeeeet ... “ Anak-anak semakin merapatkan pelukannya, saling dorong dan salin merapatkan badan agar bisa merasa lebih hangat.

Setelah aku lelah bercerita, biasanya mereka akan gantian bercerita lagi. Pernah mereka ingin ayahnya yang bercerita, tapi ternyata tidak sesuai harapan karena ayahnya bukanlah seorang pencerita yang baik ... wkwkwk ... Selama ini, ayahnya lebih sering menjadi pendengar dan pengamat yang istikomah.

Jika sudah kruntelan seperti itu, biasanya anak-anak enggan beranjak, bahkan terkadang mereka enggan bangun sekedar untuk makan sekalipun mereka merasa lapar. Mereka lebih memilih menahan lapar sampai hujan berhenti, atau sampai semua juga merasa lapar dan ingin beranjak dari tempat tidur dan makan bersama-sama. Benarlah orang-orang bijak itu berkata, bahwa bahagia itu sederhana. Sesederhana kruntelanku bersama anak-anak.

Kami baru akan bangun ketika Adzan berkumandang. Bangun untuk melaksanakan kewajiban sebagai manusia dan menunaikan hak sang Kholik.

 

 

 

 

 

 


Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Write comment

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Wikipedia

Hasil penelusuran

Latest News

Back to Top